Hai Gen ‘90an! Siapa yang sampai sekarang masih sering main-main ke Gramedia buat window shopping atau cuma membaui aroma buku cetak saat akhir pekan?
Teman Belajar penasaran gak sih, kenapa jaringan toko buku terbesar se-Indonesia ini bisa nyaman dan punya loyal customer hingga sekarang?
Gramedia jadi tempat favorit buat “ngadem” karena bisa memberikan customer experience yang nyaman buat konsumennya. Apalagi belum banyak pesaing kuat yang bisa menyaingi Gramedia di kategori ritel toko buku.
Strategi customer experience yang diadopsi oleh Gramedia ini memang salah satu strategi marketing yang berfokus pada keterlibatan, kepuasan, dan pengalaman pelanggannya. Sangat customer oriented sekali, ya!
Oke, ayo kita bahas strategi membuat toko buku yang nyaman untuk dikunjungi!
Coba kalian perhatikan, feeling comfort mulai muncul ketika kita masuk ke Gramedia. Sinar lampu yang hangat dan terang, rak buku sederhana, serta penataan nya yg rapi jadi faktornya.
Rak buku best seller juga ditampilkan di bagian depan pintu masuk agar memudahkan konsumen untuk membeli buku yang menarik.
Yap, kita pasti denger suara alunan musik jazz atau musik slow yang nyaman buat didengar. Bahkan kadang bikin kita asyik dengerin musik dibandingkan dengan memilih buku.
Ini adalah strategi Gramedia yang membuat kita gak bakal cukup kesana hanya 5 menit aja. Pada dasarnya, kita butuh waktu saat membeli buku, apalagi kalau bingung mau beli buku apa.
Dengan adanya musik jazz atau slow yang diputar di dalam toko, suara-suara tersebut secara psikologis memperlambat gerak kita jadi lebih santai karena alunan musiknya. Akhirnya kita makin betah berlama-lama dan semakin nyaman buat keliling melihat ratusan deret buku.
Siapa sih kompetitor Gramedia ini? Hingga sekarang, hanya Togamas dan Periplus yang bisa menyaingi sistem toko buku konvensional seperti Gramedia yang dibangun oleh Jakob Oetama sejak 1970. Memang, ada beberapa toko buku indie yang khas di beberapa lokasi di Indonesia, namun hingga saat ini belum ada kompetitor lain yang bersaing secara masif.
Kompetitor retail buku terbilang sangat rendah, akhirnya Gramedia dan Togamas jadi pilihan utama saat membeli buku dan alat tulis. Kompetitor yang rendah ini jadi peluang besar buat Gramedia untuk memaksimalkan in-store experience mereka.
Tapi sayangnya “zona nyaman” tampak menghantui mereka karena kompetitor yang rendah ini membuat inovasi nya jadi kurang maksimal. Apalagi jaringan toko buku ini tidak terlepas dari industri percetakan dan penerbitan, serta sudah merajai jaringan toko buku di Indonesia dengan lebih dari 113 toko.
Layaknya ritel lain, Gramedia juga sadar perubahan digital. Mereka mencoba masuk ke pasar digital yaitu penjualan via website, aplikasi dan beberapa e-commerce.
Kolaborasi ini mempermudah konsumen yang sudah tau mau beli buku apa, jadi gak perlu datang ke tokonya.
Menurut Teman Belajar, strategi apa lagi nih yang perlu ditingkatkan dari toko retail seperti Gramedia untuk memaksimalkan customer experience nya?