Drama Sengketa Merek POLO, Siapa yang Berhak Punya Izin Edar?

2 mins
Content
Marketing Theory

POLO adalah nama brand pakaian yang sudah dikenal luas, baik sebagai merek global yang punya luxury value perception, maupun merek lokal yang eksis di pusat perbelanjaan hingga e-commerce Indonesia. Tapi tahukah Teman Belajar, di balik nama ini ada sengketa hukum panjang yang melibatkan drama tiga pihak?

Minjar udah merangkum ceritanya, berikut 3 pemain utama di konflik ini:

3 versi brand POLO
  1. Pak Mohindar HB – Sosok yang mengklaim merek POLO dari tahun 1986, dengan dokumen jual beli sebagai bukti.
  2. PT Manggala Putra Perkasa (PT MPP) – Perusahaan lokal yang mengelola merek ini sejak 1992, juga dengan dokumen jual beli yang sah.
  3. PT Polo Ralph Lauren Indonesia (PT PRLI) – Pemegang hak merek sejak 2016, setelah merek ini dialihkan oleh PT MPP.

Kisahnya dimulai pada 1983, saat Jon Whiteley (warga AS) mendaftarkan merek Polo by Ralph Lauren di Indonesia. Merek ini awalnya berlaku sampai 1993. Nah, di sini ceritanya bercabang:

  • Versi Pak Mohindar: Jon Whiteley menjual merek ini kepadanya pada 5 Juli 1986. Dokumen jual beli pun sah secara hukum, dan Pak Mohindar memperpanjang merek hingga 2003.
  • Versi PT MPP: Jon Whiteley menjual merek ini ke Fonk Franky, Direktur PT MPP, pada 1992. Dokumen jual beli dari PT MPP bahkan mencantumkan klaim bahwa "merek ini tidak pernah dialihkan kepada pihak lain."

Dua dokumen jual beli ini menjadi sumber masalah. Perselisihan semakin panas saat PT MPP mengalihkan merek ini ke PT PRLI pada 2016. Di sisi lain, Pak Mohindar menuduh PT PRLI menggunakan mereknya tanpa izin. Drama ini sampai ke meja Mahkamah Agung (MA) dan berakhir pada putusan kontroversial: Pak Mohindar dianggap sebagai pemilik sah merek Polo by Ralph Lauren.

Tapi, sebelum urusan makin panjang, apa sih luxury value perception itu?

Mengenal luxury value perception brand besar

Konsep luxury value perception berhubungan dengan cara konsumen mengevaluasi barang mewah berdasarkan dimensi nilai tertentu, seperti fungsional (kualitas dan daya tahan), emosional (kepuasan dan kebanggaan), simbolis (status sosial), dan finansial (investasi jangka panjang). Dimensi-dimensi ini bisa berbeda menurut budaya dan konteks geografis. 

Mengapa brand-brand mewah tersebut dievaluasi? Menghimpun dari beberapa sumber, branding, eksklusivitas barang-barang mewah atau brand mewah hanya bisa diakses oleh kelas masyarakat menengah atas. Sebaliknya, dengan adanya value perception tersebut, brand bisa melihat bagaimana kecenderungan perilaku konsumennya dan apa alasan mereka mengkonsumsi barang-barang mewah.  

Kenapa brand ini jadi masalah?

Tentu ini berpengaruh pada banyak sektor, misalnya akuisisi konsumen, loyalitas, rantai produksi, dan lain sebagainya. Setelah keputusan MA, pengacara Pak Mohindar meminta Kementerian Perdagangan melarang penggunaan merek POLO di Indonesia oleh pihak lain. Ini artinya, aktivitas PT PRLI dan PT MPP—termasuk produksi dan penjualan produk merek POLO—bisa terhenti. Ribuan karyawan PT PRLI bahkan menggelar demo karena khawatir akan PHK massal.

Fakta Menarik Soal POLO Lokal vs Global

Di pasar, POLO punya dua wajah:

  • Polo by Ralph Lauren: Merek global dengan pusat di AS, identik dengan luxury value.
  • Polo Indonesia: Produk lokal yang dikelola PT MPP, beredar di mal dan e-commerce, bahkan disebut-sebut masih satu grup dengan Roti O (di bawah PT Sebastian Citra Indonesia).

Plot twist ini bikin drama merek POLO jadi makin seru. Meski begitu, hingga sekarang, siapa pemilik sah merek ini di Indonesia masih jadi pertanyaan besar.

Dari studycase brand POLO ini, kita bisa belajar

  1. Perlindungan Brand Premium di Indonesia
  • Ketentuan Non-Use: Kasus ini menyoroti risiko merek premium global yang tidak digunakan secara aktif di pasar lokal. Ini memberi ruang bagi perusahaan lokal untuk mengklaim atau menggunakan merek yang sama dengan kepemilikan berbeda.
  • Kolaborasi vs Konflik: Perusahaan global seperti Ralph Lauren sering menggunakan strategi lisensi atau joint venture untuk melindungi mereknya di pasar lokal. Namun, sengketa seperti ini dapat terjadi jika komunikasi atau pengelolaan lisensi tidak memadai.
  1. Preseden Hukum dan Reformasi HKI
  • Dampak Ekonomi dan Investasi: Putusan hukum di kasus ini bisa menjadi preseden penting untuk kasus serupa, baik dalam memastikan perlindungan investasi lokal maupun menyeimbangkan hak merek dagang global.
  • Kebutuhan Reformasi HKI: Sengketa ini memperlihatkan perlunya aturan lebih jelas terkait penggunaan merek internasional di pasar lokal, termasuk pencegahan penyalahgunaan aturan non-use dan penyesuaian regulasi HKI dengan dinamika perdagangan global.

Baca juga: Pentingnya HAKI untuk Hindari Drama Pecah Kongsi

Sengketa semacam ini menjadi pelajaran penting bagi brand internasional untuk secara aktif mengelola pendaftaran dan penggunaan merek di pasar yang beragam. Dalam konteks Indonesia, ini juga menunjukkan perlunya perbaikan sistem HKI untuk mendorong ekosistem investasi yang lebih aman. 

Teman Belajar bisa baca juga study case lainnya tentang branding dan marketing di sini. Semoga bisa menambah insight baru, ya!

Temukan Hal Menarik dan Asyik Lainnya

Yuk, Langganan Newsletter Kami

Topik apa yang paling menarik untuk anda?
Thank you! Your submission has been received!
Oops! Something went wrong while submitting the form.
Cookie Consent

By clicking “Accept”, you agree to the storing of cookies on your device to enhance site navigation, analyze site usage, and assist in our marketing efforts. View our Privacy Policy for more information.

Cookie preferences