POLO adalah nama brand pakaian yang sudah dikenal luas, baik sebagai merek global yang punya luxury value perception, maupun merek lokal yang eksis di pusat perbelanjaan hingga e-commerce Indonesia. Tapi tahukah Teman Belajar, di balik nama ini ada sengketa hukum panjang yang melibatkan drama tiga pihak?
Minjar udah merangkum ceritanya, berikut 3 pemain utama di konflik ini:
Kisahnya dimulai pada 1983, saat Jon Whiteley (warga AS) mendaftarkan merek Polo by Ralph Lauren di Indonesia. Merek ini awalnya berlaku sampai 1993. Nah, di sini ceritanya bercabang:
Dua dokumen jual beli ini menjadi sumber masalah. Perselisihan semakin panas saat PT MPP mengalihkan merek ini ke PT PRLI pada 2016. Di sisi lain, Pak Mohindar menuduh PT PRLI menggunakan mereknya tanpa izin. Drama ini sampai ke meja Mahkamah Agung (MA) dan berakhir pada putusan kontroversial: Pak Mohindar dianggap sebagai pemilik sah merek Polo by Ralph Lauren.
Tapi, sebelum urusan makin panjang, apa sih luxury value perception itu?
Konsep luxury value perception berhubungan dengan cara konsumen mengevaluasi barang mewah berdasarkan dimensi nilai tertentu, seperti fungsional (kualitas dan daya tahan), emosional (kepuasan dan kebanggaan), simbolis (status sosial), dan finansial (investasi jangka panjang). Dimensi-dimensi ini bisa berbeda menurut budaya dan konteks geografis.
Mengapa brand-brand mewah tersebut dievaluasi? Menghimpun dari beberapa sumber, branding, eksklusivitas barang-barang mewah atau brand mewah hanya bisa diakses oleh kelas masyarakat menengah atas. Sebaliknya, dengan adanya value perception tersebut, brand bisa melihat bagaimana kecenderungan perilaku konsumennya dan apa alasan mereka mengkonsumsi barang-barang mewah.
Tentu ini berpengaruh pada banyak sektor, misalnya akuisisi konsumen, loyalitas, rantai produksi, dan lain sebagainya. Setelah keputusan MA, pengacara Pak Mohindar meminta Kementerian Perdagangan melarang penggunaan merek POLO di Indonesia oleh pihak lain. Ini artinya, aktivitas PT PRLI dan PT MPP—termasuk produksi dan penjualan produk merek POLO—bisa terhenti. Ribuan karyawan PT PRLI bahkan menggelar demo karena khawatir akan PHK massal.
Di pasar, POLO punya dua wajah:
Plot twist ini bikin drama merek POLO jadi makin seru. Meski begitu, hingga sekarang, siapa pemilik sah merek ini di Indonesia masih jadi pertanyaan besar.
Dari studycase brand POLO ini, kita bisa belajar
Baca juga: Pentingnya HAKI untuk Hindari Drama Pecah Kongsi
Sengketa semacam ini menjadi pelajaran penting bagi brand internasional untuk secara aktif mengelola pendaftaran dan penggunaan merek di pasar yang beragam. Dalam konteks Indonesia, ini juga menunjukkan perlunya perbaikan sistem HKI untuk mendorong ekosistem investasi yang lebih aman.
Teman Belajar bisa baca juga study case lainnya tentang branding dan marketing di sini. Semoga bisa menambah insight baru, ya!